“Merdeka Sinyal” Tahun 2020, Mungkinkah Terwujud?
Era industri 4.0 yang sangat erat hubungannya dengan dunia digital, tak dipungkiri membutuhkan kekuatan pada aspek telekomunikasi yang dapat diandalkan. Pemerintah Indonesia yang diwakili oleh Badan Aksesibilitas Telekomunikasi Indonesia (BAKTI) telah mencanangkan Merdeka Sinyal di tahun 2020, yang tujuan utamanya adalah memberikan jaringan komunikasi hingga ke seluruh pelosok negeri. Namun hingga saat ini mengaku masih menemui beberapa kendala. Polemik ini menjadi bahasan di acara seminar yang digelar bersama BAKTI, Selular, Ombudsman dan perusahaan-perusahaan startup.
Saat ini masih ada sekitar 11 persen wilayah di Indonesia yang belum tersentuh sinyal atau blank spot yang terletak di 5.300 desa yang tersebar di seluruh Indonesia. Adapun 3.500 di antaranya berada di wilayah Papua. Untuk melakukan pemerataan akses telekomunikasi tersebut, Anang Latief, Direktur Utama BAKTI menyampaikan membutuhkan dana yang lebih banyak dari yang sekarang ini ada dari dana USO yang disetor oleh operator. “Saat ini operator mempunyai kewajiban untuk menyetor dana USO sebesar 1,25 persen dari total revenue. Sulit mewujudkan kalau cuma 1,25 persen untuk membangun infrastruktur di 5000 desa lebih,” ungkap Anang dalam acara diskusi di Jakarta (27/12/2018). Disisi lain operator seluler enggan untuk membangun infrastruktur telekomunikasi di daerah pelosok, karena dari sisi bisnis tentunya kurang menjanjikan.

BAKTI juga memahami bahwa saat ini pihak operator revenuenya telah terus tergerus karena berkembangnya komunikasi dengan OTT. SMS dan panggilan telepon yang sebelumnya menjadi revenue utama bagi operator, kini sudah tak lagi banyak digunakan oleh masyarakat.
Dalam hal ini BAKTI berusaha mencari jalan tengah sebagai solusi untuk rencana “Merdeka Sinyal” di tahun 2020 dengan menawarkan skema kepada operator untuk mempercepat meratanya akses telekomunikasi.
“Kami bangun infrastruktur yang nantinya akan digunakan oleh operator. Kami jamin infrastruktur yang dibangun memiliki SLA yang sesuai dengan standar operator,” kata Anang.
Kamilov Sagala selaku pengamat telekomunikasi mengatakan bahwa tergerusnya revenue operator ini tidak terlepas dari lemahnya regulasi di sektor telekomunikasi ini. “Lemahnya regulasi membuat OTT merajalela dan akhirnya menggerus pendapatan operator,” kata Kamilov. Beliau juga mengemukakan bahwa bisnis penyediaan infrastruktur yang dilakukan BAKTI ini dibebankan kepada pihak OTT, bukan operator.
Sementara itu Alamsyah Saragih, Anggota Ombudsman RI menegaskan, peran BAKTI yang tadinya pelaksana USO menjadi semi penyelenggara telekomunikasi harus dibuat aturan bagaimana interaksinya dengan operator yang ada. “Jangan sampai dalam menjalankan tugasnya melakukan pemerataan akses telekomunikasi terjadi mal administrasi,” pungkas Alamsyah.
Program “Merdeka Sinyal” yang direncanakan BAKTI sendiri sebenarnya tidak hanya memberikan pertumbuhan di bidang telekomunikasi sebagai pangkal dari industri tersebut, tetapi juga akan meningkatkan perekonomian lainnya di ujung industri.

Apalagi di era industri 4.0 dimana sudah banyak startup-startup yang bertumbuh dan mampu mengembangkan UKM, tak hanya di kota-kota besar tetapi juga ke daerah-daerah terpencil.
Misalnya seperti startup TukangSayur.co yang turut hadir dalam seminar tersebut, memiliki model bisnis yang cukup solutif bagi masyarakat di wilayah manapun. TukangSayur.co mengintegrasikan antara produsen sayur yaitu dari para petani, kepada angka demand yang dibutuhkan oleh konsumen di pasar.
Dengan demikian tidak ada sampah sayuran yang terbuang karena jumlah produk sayur yang berlebih. Tentunya model bisnis startup ini tidak akan lepas dari kebutuhan akan telekomunikasi terutama untuk wilayah-wilayah pelosok dimana produk sayur tersebut dihasilkan.
Sementara itu, Dheta Aisyah selaku Chief of Finance dari Binar Academy juga mencurahkan keluhannya dari sisi startup yang sering mengalami benturan antara inovasi dan regulasi. Seperti misalnya startup transportasi dan juga Finctech yang beberapa waktu lalu terkendala oleh regulasi baru dari pemerintah.
“Kami berharap regulator bisa lebih proaktif dalam menetapkan regulasi, agar jangan sampai setelah industri berjalan kemudian barulah regulasi ditetapkan yang tentunya sering menimbulkan permasalahan,”ujar Dheta. Iya juga berpendapat, seharusnya Indonesia sebagai negara “pengikut” dari tren teknologi bisa mengambil studi dari beberapa kasus yang sebelumnya telah terjadi di negara-negara yang telah menerapkan teknologi lebih dahulu.